나쁜 사랑
Bad Love
Black Romance present
A story by JH_Nimm
Title: 나쁜 사랑
Also known as: Bad Love
Genre: Romance, Sad, Hurt
Rating :
T
Length:
Drabble
Disclaimer:
Ini FF murni hasil dari pemikiran saya dan
bukan hasil plagiat. So, jangan di Co-Pas seenak jidat, jangan di re-share tanpa seizin saya dan jangan di
plagiat.
FF ini terdiri dari 2 ending yang berbeda. Verse 1 merupakan ending pertama, dan verse 2 merupakan ending dengan versi yang lain.
Like it, RCL please… dislike it, don’t bashing, please…
Don’t be silent reader, please!
Happy Reading…
Gamsahamnida…^^
Cast:
Ji Hyeon
(You can imagine Ji Hyeon as YOU and when
you read this story, just thinking about someone who you love so much)
~ PROLOG ~
Last night, I had a bad dream.
In that dream, we were separated so easily
like we never known each other.
We break up like we never loved each other.
That was really a bad dream.
But when I’ve waking up, it wasn’t just a
dream.
It was real.
It was true that you didn’t here.
You didn’t besides me anymore.
You were gone.
(2013/02/19)
Ji Hyeon’s POV
Temaram malam kembali
menyembunyikan keindahan sang bulan yang tanpa permisi menghilang dibalik
kelamnya awan. Di dalam ruangan berbentuk persegi dengan nuansa warna lavender ini aku masih terdiam. Aku
terduduk sambil memeluk lutut dengan kedua tanganku di dekat jendela kamarku dan
mataku juga tak henti menatap ke arah luar. Mataku terbuka penuh, namun aku tak
dapat melihat apa yang ada dihadapanku. Aku bahkan tak dapat melihat apa saja
yang berlalu-lalang melewati rumahku. Aku juga tak dapat mendengar suara apa
yang berbisik ke telingaku. Bahkan aku tak dapat mendengar suara-suara yang
bergema disekitarku.
Sial. Tangan mungil ini masih
menggenggam sebuah buku kecil berwarna putih dengan tulisan dan beberapa foto
di dalamnya yang sangat benci untuk ku lihat lagi. Tapi meskipun aku membenci
buku kecil ini, aku juga tak bisa membuangnya begitu saja. Karena dengan
bodohnya aku menerima buku kecil putih itu dan bahkan aku menerimanya dengan
sebuah senyuman yang sejujurnya merupakan tangisan yang ku sembunyikan jauh di
dasar hatiku.
Aku beranjak dari dudukku. Ku
simpan buku kecil putih itu di atas sebuah meja kecil. Lalu perlahan kubuka
sebuah lemari berwarna cokelat tua yang tetap berdiri dengan tegap di dekat
tempat tidurku. Perlahan ku genggam kenop pintu lemari tersebut dan aku
mendapati beberapa pakaian tergantung dan terlipat rapi didalamnya. Ku tatap
sejenak pakaian-pakaian itu. Namun aku sama sekali tak berniat untuk memakai
salah satu dari pakaian-pakaian itu.
Ku langkahkan kakiku kembali dan
menuju ke sebuah cermin. Ku tatap wajahku yang terpantul di cermin itu. Rupanya
wajahku menampakkan bahwa aku sedang dalam keadaan yang tidak baik. Terlihat
semburat-semburat kesedihan yang menghias wajahku. Semburat-semburat kesedihan
yang kini lebih mendominasi wajahku itu sanggup membuat senyuman ceria diwajahku
seketika menghilang.
Mata ini, mata yang terlihat
sembab karena ia tak hentinya menguras air mata yang selalu keluar tanpa
perintah itu. Bibir ini, kini terkunci dan seolah tak ingin banyak berkata-kata
lagi. Bahkan bibir ini tak sanggup meskipun hanya untuk menyungginggkan sebuah
senyuman. Terus ku amati wajahku dari cermin, apakah aku terlalu buruk sebagai
seorang manusia?
Langkah ini kembali menuju ke
tempat tidur, namun mataku teralih pada sebuah buku kecil berwarna putih yang
tergeletak di atas sebuah meja kecil. Semula aku berniat untuk tidur dan
memejamkan mataku. Aku ingin terlelap agar ketika aku bangun di esok hari,
semua yang terjadi ini hanyalah sebuah mimpi. Sebuah mimpi yang sangat aku
takutkan. Namun buku kecil itu sanggup membuatku kembali menuju ke sebuah
lemari berwarna cokelat tua itu lagi. Ku ambil sebuah gaun berwarna putih,
sebuah gaun pernikahan yang belum sempat ku pakai. Sebuah gaun pernikahan yang
bahkan tak sempat menjadi saksi pernikahan dimana aku mengucapkan sumpah sehidup
semati bersama seorang pria di depan altar.
Ku letakkan gaun pernikahan itu
di tempat tidurku. Warna putihnya terlihat semakin cantik dan suci dengan
desain yang memang ku buat dengan tanganku sendiri. Sebuah desain yang tampak
manis dengan bordir berbentuk daun maple.
Semakin ku tatap gaun pernikahan itu, semakin membuatku membayangkan jika saja
aku memakainya, jika saja aku berjalan menuju altar, jika saja pengantin priaku
menjemputku.
[Verse 1]
Kakiku melemas seiring dengan buliran
bening yang kembali mengalir dari kedua mataku. Kedua mataku yang tak dapat
melepaskan tatapannya dari sebuah gaun pengantin. Ku raih buku kecil berwarna
putih yang tergeletak di atas sebuah meja kecil yang memang letaknya tak begitu
jauh dariku itu. Kembali ku baca setiap tulisan yang tertulis didalamnya dan ku
tatap beberapa foto yang memang di cetak dalam buku putih kecil itu.
Melihat buku kecil berwarna
putih yang sebenarnya adalah sebuah undangan pernikahan itu membuatku merasa
menyedihkan. Bahkan sekarang aku membenci gaun pernikahan yang ada dihadapanku.
sebuah perasaan bergejolak dalam diriku. Aku bahkan tak sanggup untuk menahan
buliran-buliran bening yang memang terus mengalir dari mataku itu lagi. Aku
ingin berteriak, namun suaraku tercekat di tenggorokanku. Aku ingin bangkit dan
berlari sejauh mungkin, tapi kakiku terlalu lemah untuk beranjak dari posisiku
saat ini. Aku tak sanggup mengendalikan diriku.
Aku semakin membenci surat
undangan pernikahan itu. Akhirnya ku robek undangan pernikahan itu dan
menjadikannnya beberapa bagian kecil hingga aku tak dapat membaca tulisan yang
sempat tertulis didalamnya, hingga aku tak bisa melihat beberapa foto yang
merupakan foto dirinya dengan wanita lain yang bukan aku itu. Namun ketika aku
membuatnya menjadi serpihan-serpihan kecil, mengapa justru bayanganmu dengannya
yang menari dalam pikiranku? Mengapa bayangan ketika kau memberikan undangan
itu dan memintaku datang itu justru memenuhi ruang pikiranku?
Aku ingin merias diriku dan
membuat wajahku cantik, tapi aku tak ingin melakukannya. Aku juga ingin
mengenakan gaun yang cantik dan membawakanmu se-bucket bunga untuk mengucapkan selamat atas pernikahanmu. Aku ingin
mengenakan sepatu yang cantik, sepasang sepatu yang sempat kau berikan sebagai
hadiah hari jadi kita yang ke-4 tahun sebelum akhirnya kita berpisah. Aku
bahkan ingin melangkahkan kakiku untuk berangkat ke pernikahanmu, tapi kakiku
tak sanggup untuk melangkah ke sana.
Aku tak ingin melihatmu berdiri
di depan altar menunggu pengantin wanitamu datang. Aku tidak ingin melihat
senyuman manis yang selalu kau berikan padaku itu, kini tersungging ketika
menyambut pengantin wanitamu. Aku tidak ingin kau mengucapkan sumpah suci itu
dihadapan banyak orang yang menyaksikan pernikahanmu dengan pengantin wanitamu.
Aku tidak ingin melihatmu bersamanya.
[Verse 2]
Kakiku melemas seiring dengan buliran bening
yang kembali mengalir dari kedua mataku. Kedua mataku yang tak dapat melepaskan
tatapannya dari sebuah gaun pengantin. Ku raih buku kecil berwarna putih yang
tergeletak di atas sebuah meja kecil yang memang letaknya tak begitu jauh
dariku itu. Kembali ku baca setiap tulisan yang tertulis didalamnya dan ku
tatap beberapa foto yang memang di tempel dalam buku putih kecil itu.
Melihat buku kecil berwarna
putih yang sebenarnya adalah diary
milikmu itu hanya membuatku semakin tak sanggup menahan tangis ini. Apalagi
ketika ku baca setiap untaian kata yang kau tuliskan. Setiap baris kata-kata
yang merupakan ungkapan hatimu. Serangkaian kata-kata yang tak pernah kau
katakan padaku. Kata-kata yang bahkan tak sempat untuk kau katakan padaku
sebelum akhirnya kau pergi.
Aku membenci buku diary ini. Karena buku diary ini lebih tahu tentang dirimu.
Bahkan buku diary ini lebih banyak
mendengarkanmu daripada aku. Aku membenci buku diary ini. Bahkan sekarang aku membenci gaun pernikahan itu. Aku
membencinya karena kau tak sempat melihatku dengan cantik memakainya. Aku
membencinya karena aku tak sempat mengenakannya. Aku membencinya karena gaun
itu tidak bisa menjadi saksi bisu ketika kau mengucapkan sumpah akan menjagaku
untuk selamanya.
Aku membencimu. Aku sangat
membencimu. Karena kau meninggalkanku. Karena kau pergi begitu saja. Karena kau
tidak bisa menjadi milikku. Aku membencimu karena kau pergi jauh. Aku
membencimu karena kau tak lagi datang untuk menjemputku ketika hari hujan. Aku
membenciku karena kau tak lagi berjalan di sampingku. Aku membencimu karena
tangan hangatmu tak lagi menggengggam tanganku. Aku membencimu karena aku tak
bisa bersandar lagi dibahumu, aku tak bisa lagi menangis dalam pelukanmu. Aku
membencimu karena aku harus kehilangan senyuman cerahmu. Aku membencimu karena
aku mencintaimu.
Saat ini, aku sangat
merindukanmu. Bahkan hampir gila merindukanmu. Tapi mengapa justru kau malah
meninggalkanku di saat aku benar-benar membutuhkanmu? Kenapa kau pergi di saat
aku selalu merindukanmu? Kenapa kau justru menghilang di saat setiap detik aku
ingin menatap wajahmu? Kenapa kau pergi terlalu jauh di saat aku merindukan
suaramu yang dengan lembutnya menyebut namaku? Kenapa Tuhan mengambilmu dari
sisiku dengan begitu cepat?
Aku merindukanmu. Dengarkanlah.
Aku sangat membutuhkanmu saat ini. Aku ingin kau menjemputku lagi meskipun hari
hujan. Aku ingin berjalan berdampingan denganmu lagi. Aku ingin kau menggenggam
tanganku dengan tanganmu yang hangat. Aku ingin bersandar dibahumu dan aku
ingin memelukmu. Aku ingin melihat senyuman cerahmu. Aku ingin mengatakan bahwa
aku sangat mencintaimu. Aku ingin bercerita semua hal yang belum sempat ku
ceritakan padamu. Aku ingin menatap wajahmu. Aku ingin mendengarmu menyebut
namaku. Aku merindukanmu.
JH Nimm is back…
Honestly
that gue juga bingung ini FF masuknya ke drabble apa gimana.
Trus bisa di sebut FF apa enggak juga nih,
secara enggak ada idola yang jadi castnya alias gue gak pake bias sebagai cast
di FF ini.
Tapi anggap aja ini pemanasan buat
meluncurnya FF yang akan di rilis selanjutnya.
Ah ya, ini FF pertama yang ending beda tapi gue tulis bebarengan
gak di pisah gitu. Biasanya di pisah soalnya. Hehehe
So far, JH Nimm
pastinya selalu meminta maaf atas semua kekurang-sempurnaan dalam FF ini.
JH Nimm juga pastinya tak akan lupa untuk
berterimakasih atas semua apresiasinya.
Ja~
Regard,
JH_NImm
Comments
Post a Comment