마지막 소원 (The Last Wish)
A story by JH Nimm ©
Title: 마지막 소원(The Last Wish)
Also known as: The Last Wish
Genre: Sad, Family, Melodrama
Rating: G
Length: Oneshot
Karakter, tempat,
organisasi, agama, dan kejadian dalam drama ini adalah fiksi.
Happy reading… Thank you… :3
Note: yang ditulis miring
adalah FLASHBACK!!!
BGM:
Seo Eun
Kwang (BtoB) – Like that Day
== Prolog ==
Jauh di
relung hatiku, ada satu hal yang tak pernah mampu kuceritakan pada siapapun.
Luka terdalamku. Dengan begini, biarkan hanya aku sendiri yang memendam luka
ini, jangan sampai orang-orang yang menyayangiku pun turut terluka karenanya.
Maafkan aku. (2020/05/12)
-------
Langit musim gugur ini mulai
berwarna kekuningan. Menandakan bahwa matahari telah bersiap untuk terbenam,
menjemput senja yang dalam hitungan jam akan segera tiba. Namun meskipun
matahari mulai menghilang di ufuk barat, di sebuah taman bermain, tampak
seorang perempuan paruh baya masih sibuk bermain dan tertawa bersama-sama
anak-anak berusia 4-5 tahun yang sedang bermain di taman itu. Setiap bermain
bersama anak-anak kecil itu, kebahagiaan terpancar dari perempuan paruh baya
itu. Orang-orang memanggil perempuan paruh baya itu sebagai Haneul Ahjumma,
seorang pemilik taman kanak-kanak di daerah Okin-dong yang tengah menghabiskan
masa senjanya di daerah pemukiman yang tidak terlalu sibuk dengan hiruk-pikuk
perkotaan di kota sebesar Seoul itu.
Dari kejauhan, seorang perempuan
berusia 32 tahun menatap perempuan paruh baya yang tengah bermain bersama anak-anak kecil dengan riang itu.
Matanya mulai berkaca-kaca seiring dia terus mengamati Haneul Ahjumma
yang tampak sangat ceria.
“Noona
[Kakak]…”
Sebuah
suara mengagetkan perempuan itu hingga air mata yang hampir saja mengalir bebas
dari matanya itu terhenti tepat sebelum ia jatuh membentuk sungai kecil di
wajahnya.
“Oh,
Jihoon-a…”
Berusaha
keras dia menyembunyikan rasa sedihnya sambil menatap seorang pemuda berusia 28
tahun bernama Jihoon, Lee Jihoon yang merupakan adiknya itu.
“Noona
[Kakak], sampai kapan kau akan sembunyikan hal ini dari ibu?” tanya
Jihoon.
Jihyeon,
Lee Jihyeon, perempuan itu hanya tersenyum sambil menyembunyikan luka di dalam
hatinya untuk menjawab pertanyaan adiknya tersebut.
“Noona
[Kakak]…”
Jihoon
tahu benar sifat kakaknya itu. Jihoon juga tahu bahwa saat itu, kakak
perempuannya ini tengah menyembunyikan luka yang hanya mampu dia pendam dari
ibunya sendiri.
“Jibe
kaja [Ayo pulang]…” ucap Jihyeon.
Jihyeon
pun berjalan menuju ke sebuah gang yang akan menuntunnya ke rumahnya yang
sederhana dan bernuansa klasik dengan dekorasi seperti rumah tradisional Korea.
Sesampainya di rumah, Jihyeon segera menuju kamarnya dan mencoba untuk
menghilangkan lelahnya.
****
Hari
ini, seperti biasa Jihyeon tengah menyibukkan dirinya dengan merancang gaun
pengantin untuk koleksi musim dingin di butiknya. Ya, Jihyeon adalah seorang
perancang gaun pengantin yang cukup ternama di Korea dan bahkan beberapa
selebriti papan atas memesan gaun pernikahan mereka darinya. Namun meskipun
memiliki nama yang cukup besar, Jihyeon lebih memilih untuk mengelola butik
pribadinya yang sederhana dan tidak terlalu besar layaknya perancang-perancang
ternama di Korea. Atau lebih tepatnya, sejak 3 tahun yang lalu, dia memutuskan
untuk menutup butiknya di Gangnam yang besar itu dan pindah ke daerah Okin-dong
yang berdekatan dengan rumahnya meskipun tidak sebesar di pusat perkotaan
seperti Gangnam.
Menghabiskan
hari-harinya di butik ‘Every Beautiful Wish’ untuk merancang gaun-gaun
terbaiknya, Jihyeon selalu hampir melupakan waktu. Bahkan di saat semua
karyawannya sudah pulang, Jihyeon masih menyibukkan dirinya untuk menyelesaikan
pekerjaan yang paling dia senangi itu.
“Hei!”
Sebuah
suara membuatnya terkejut hingga jarum menusuk jari telunjuknya.
“Ah!”
ringis Jihyeon.
Seorang
laki-laki berwajah tampan itu pun menghampiri Jihyeon saat dia mendengar
ringisan Jihyeon.
“Gwaenchanha
[Kau tidak apa-apa]?” tanya laki-laki itu.
Jihyeon
hanya tersenyum sambil menyeka darah yang keluar dari jari telunjuknya itu.
“Mianhae
[Maafkan aku]. Aku membuatmu terkejut sampai terluka seperti ini,” ucap
laki-laki itu sambil membantu Jihyeon mengambilkan kotak P3K.
“Gwaenchanha
[Tidak apa-apa]…” ucap Jihyeon.
Laki-laki
bernama Taekwoon, Jung Taekwoon itu pun membantu Jihyeon membersihkan lukanya
lalu membalutnya dengan plester.
“Masih
banyak yang harus dikerjakan?”
“Oh?
Sudah hampir selesai,”
“Kalau
begitu, aku akan mengantarmu pulang,”
“Hei,
rumahmu berlawanan arah dan bahkan rumahku tidak sejauh itu, hanya beberapa
meter dari sini,”
Taekwoon
hanya tersenyum sambil menatap Jihyeon.
“Kaja
[Ayo]…” ucap Taekwoon sambil menggenggam tangan Jihyeon.
Genggaman
tangan hangat Taekwoon yang selalu membuat jantung Jihyeon berdebar kencang itu
membuatnya berdiri dan berjalan mengikuti langkah kaki Taekwoon yang membawanya
keluar dari butik kecilnya itu. Mereka pun berjalan menyusuri gang kecil yang
menuju ke rumah Jihyeon dengan dipayungi langit yang mulai berwarna kemerahan
karena Jihyeon lagi-lagi pulang sedikit terlambat hari ini. Sepanjang
perjalanan, Taekwoon enggan melepaskan tangan mungil Jihyeon yang kini ada di
genggaman tangannya. Atau dia tidak ingin melepaskan lagi seorang perempuan
yang selalu menyita seluruh perhatiannya ini.
“Oh?
Taekwoon-a!”
Suara
seorang perempuan paruh bayaitu membuat Jihyeon dan Taekwoon tersadar hingga
akhirnya melepaskan genggaman tangan mereka.
“Ahjumma!”
Taekwoon
dan Jihyeon pun menghampiri Haneul Ahjumma, ibu Jihyeon, yang baru saja
pulang dari inconvenient store di dekat rumah mereka untuk membeli
bahan-bahan masakan.
“Bagaimana
kabarmu?” tanya Haneul Ahjumma.
“Seperti
yang kau lihat,” jawab Taekwoon.
“Karena
sudah lama tidak bertemu dan sudah waktunya makan malam, bagaimana jika kau
mampir dan kita makan malam bersama?” ajak Haneul Ahjumma.
“Oh,
baiklah…” jawab Taekwoon.
“Kaja
[Ayo]…” ajak Haneul Ahjumma.
Haneul
Ahjumma mengajak Taekwoon masuk sambil mengajaknya mengobrol, sedangkan
Jihyeon mengekor di belakang mereka sambil mendengarkan percakapan mereka.
“Oh,
Hyung!” ucap Jihoon saat melihat Taekwoon yang datang bersama kakak dan
ibunya itu.
“Jihoon-a,
jal jinae [sudah lama]…”
Jihoon
pun mengajak Taekwoon untuk berbincang dan melepas rindu karena cukup lama
tidak bertemu. Sedangkan Jihyeon dan ibunya menyiapkan makan malam.
Tanpa
menunggu lama, makan malam sudah dihidangkan di meja makan dan Jihyeon pun
memanggil Taekwoon dan Jihoon untuk makan. Di meja makan itu menjadi saksi
pertemuan mereka Kembali dan menjadi pendengar obrolan mereka di malam yang membahagiakan
ini. Sambil menikmati makanan, sesekali Haneul Ahjumma menatap Jihyeon
dan Taekwoon. Saat menatap kedua insan itu, senyuman terukir di wajahnya.
Selalu ada rasa bahagia melihat putrinya berdampingan bersama seorang laki-laki
yang baik dan perhatian terhadap putri satu-satunya itu.
Setelah
cukup lama melepaskan kerinduannya bersama keluarga Jihyeon, tiba waktunya
untuk Taekwoon pulang. Meskipun dia masih ingin menghabiskan lebih lama lagi
waktu bersama keluarga kecil Jihyeon, namun sekretarisnya mengabarinya mengenai
sebuah pekerjaan mendadak yang harus segera dia kerjakan.
“Mengapa
tidak menginap saja?” tanya Haneul Ahjumma.
“Aku
mau. Tapi sayangnya ada pekerjaan mendadak yang harus kukerjakan,” jawab
Taekwoon. “Mungkin lain kali, aku pasti akan menginap dan kita habiskan waktu
bersama,”
“Baiklah
kalua begitu. Tapi sering-seringlah datang ke mari dan anggap saja rumahmu
sendiri,”
“Geurae
[Baiklah]…”
Jihoon,
Haneul Ahjumma dan Jihyeon mengantarkan Taekwoon sampai ke luar gerbang.
“Eomeoni
[Bu], aku pulang dulu,”
“Geurae,
hati-hati di jalan,”
“Hyung,
datang lagi nanti,”
Taekwoon
hanya mengangguk. Kemudian dia mengalihkan pandangannya pada Jihyeon yang tidak
bicara sepatah katapun. Melihat hal itu, Haneul Ahjumma pun menarik
Jihoon untuk masuk ke dalam rumah mereka dan memberi ruang pada Jihyeon dan
Taekwoon.
“Gomawo
[Terima kasih]…” ucap Jihyeon.
Mendengar
ucapan Jihyeon, Taekwoon hanya menatapnya dan tersenyum. Kemudian tangan
kanannya mengusap lembut kepala gadis yang telah mengambil alih seluruh
hatinya.
“Aku
pulang,” ucap Taekwoon.
Jihyeon
pun mengangguk. Taekwoon pun mulai berjalan menuruni gang yang akan membawanya
ke jalan raya itu. Sedangkan Jihyeon masih memperhatikan punggungnya sampai dia
benar-benar menghilang di ujung jalan.
“Jihyeon-a…”
Haneul
Ahjumma memanggil putrinya itu saat dia masuk setelah mengantarkan
kepergian Taekwoon. Haneul Ahjumma pun mengajak Jihyeon duduk di meja
makan dan memegang tangan putrinya itu.
“Jihyeon-a,
Ibu tahu bahwa Ibu sudah sering mengatakan ini padamu. Bahwa Ibu akan
menyerahkan semua keputusan itu padamu, apapun itu. Termasuk dengan
pernikahanmu,”
Jihyeon
sudah tahu ke mana arah pembicaraan ibunya ini. Namun dia masih mendengarkan
setiap kata yang diucapkan ibunya tersebut.
“Ibu
hanya menginginkan kebahagiaanmu, dan Ibu harap, kau bisa melepaskan traumamu.
Apalagi dengan melihat Taekwoon yang sebaik itu padamu. Ibu bisa melihat bahwa
dia sangat mencintaimu dan Ibu yakin kau juga bisa merasakan perasaannya terhadapmu.
Ibu hanya berharap yang terbaik untukmu dan Ibu tidak akan memaksamu. Tapi
semoga Taekwoon bisa meluluhkan gunung es di dalam hatimu itu,”
Jihyeon
hanya tersenyum untuk menjawab nasihat yang disampaikan oleh ibunya. Seperti
biasa, senyuman palsu untuk menyembunyikan lukanya karena dia tidak ingin
melihat ibunya terluka lagi. Dia juga tahu benar apa yang diharapkan oleh
ibunya dan dia tahu benar apa yang harus dia lakukan. Namun terlepas dari
traumanya yang menjadikannya mengambil sebuah keputusan untuk tidak menikah,
ada alasan lain yang hanya sanggup dia sembunyikan dari ibunya. Jihyeon pun
memegang tangan ibunya dan mengusapnya dengan hangat. Ibunya pun mengerti apa
yang ada di dalam benak putrinya itu. Sehingga dia hanya mampu mendukung apapun
keputusan yang dibuat oleh putrinya itu.
Sedangkan,
di balik pintu sebuah kamar bernuansa turquoise itu, ada Jihoon yang
mendengarkan pembicaraan kakaknya dan ibunya itu. Dia hanya bisa mengepalkan
tangannya untuk mencoba menahan perasaan sakit yang dia rasakan dalam hatinya
setiap kali mendengar pembicaraan kakak dan ibunya itu. Selain itu, dia mencoba
menahan perasaan yang membuncah dalam benaknya karena dia harus mengetahui
kenyataan pahit yang disembunyikan oleh kakaknya dari ibu mereka itu.
****
Sinar
Mentari bahkan masih malu-malu untuk menunjukkan dirinya. Namun suasana di
Ruang Gawat Darurat di Rumah Sakit Universitas Seoul itu tampak sibuk menangani
keadaan seorang pasien yang baru saja datang itu. Para dokter dan perawat yang
bertugas di saat itupun mulai melakukan penanganan terbaik semampu yang mereka
lakukan pada pasien itu. Suasana yang cukup menegangkan di mana keadaan pasien
terus memburuk karena vitalnya terus mengalami penurunan.
“Seonsaengnim
[Dokter], apakah kita harus segera pindahkan pasien ini ke ruang operasi?”
tanya seorang residen laki-laki yang turut membantu penanganan pasien itu.
Dokter
Cha, Cha Hakyeon yang mengetahui benar kondisi pasien yang baru saja dia
tangani itu hanya menghembuskan napasnya dengan kasar.
“Jangan
katakan…” ucap seorang perawat sambil menatap Dokter Cha.
Dokter
Cha hanya mengangguk.
“Pindahkan
pasien ke ruangan ICU dan pantau keadaannya. Jika terjadi sesuatu yang
abnormal, segera panggil aku,” ucap Dokter Cha.
Ya,
pasien tersebut telah menandatangi surat perintah DNR dan saat pasien telah
menandatangi surat DNR, maka dokter dan pasien tidak dapat berbuat apa-apa
selain hanya membantu pasien dengan semua peralatan medis yang tersedia sampai
hari terakhir pasien itu tiba.
Dokter
Cha pun kemmbali ke ruangannya. Segera setelah tiba di ruangannya, Dokter Cha
hanya berdiri di samping jendela dan menatap ke luar dengan mata yang penuh
perasaan yang dia sendiri tak mampu jelaskan. Lagi, dia menghembuskan napasnya
dengan kasar dan kemudian matanya tertuju pada laci di meja kerjanya. Perlahan
dia pun membuka lacinya itu dan menatap sebuah amplop berwarna lavender
yang tersimpan dengan rapi di sana. Saat menatap amplop itu, Dokter Cha
terduduk lemas di kursinya dan mencoba memfokuskan diri dengan membuka Riwayat
pemeriksaan pasien yang baru saja dia tangani itu.
****
Di
luar ruang ICU, tampak seorang laki-laki tengah terduduk lemas dan menyandarkan
punggungnya pada kursi yang ada di sana. Laki-laki itu tampak kehilangan
separuh dari nyawanya dengan matanya yang menatap kosong dan air mata mulai
memenuhi matanya dan bersiap untuk mengalir kapan saja.
“Jihoon-a!”
Meskipun
suara seorang perempuan yang memanggil namanya itu terdengar jelas di
telinganya, namun itu hanya membuatnya semakin lemas hingga akhirnya air mata
yang sedari tadi dia tahan sekuat tenaga itu mengalir bebas dari matanya.
“Jihoon-a,
museun irinya [Apa yang terjadi]?” tanya perempuan paruh baya yang tak
lain adalah ibunya itu, Haneul Ahjumma.
“Eom…
Eomma…” ucap Jihoon dengan terbata-bata sambil berdiri dan menatap ibunya
itu.
“Museun…”
belum selesai bicara, matanya tertuju pada jendela kecil di pintu ruangan ICU.
Dengan
lunglai Haneul Ahjumma pun mendekati pintu ruangan ICU itu. Di sana dia
melihat seorang perempuan tengah berbaring tak sadarkan diri dengan banyak
selang yang terpasang di tubuhnya.
“Jihyeon…
Jihyeon-a…”
Kakinya
terasa lemas seiring dia menyebut nama putrinya yang kini tengah tak sadarkan
diri itu. Seketika itu juga, tubuh Haneul Ahjumma ambruk di lantai dan
mulai menangis.
“Jihyeon-a…”
Haneul
Ahjumma menangis. Hatinya sungguh tak sanggup melihat putrinya kini
tengah terbaring dengan berbagai peralatan medis yang terpasang di tubuhnya.
Putri kesayangannya yang kini memejamkan matanya seolah sedang tertidur dengan
lelap dan enggan terbangun itu membuat air matanya mengalir semakin deras.
Jihoon yang melihat ibunya menangis, dia pun menghampiri ibunya dan memeluk
ibunya.
****
Malam
yang dingin di musim gugur yang sepi. Jihoon pun mengajak seorang laki-laki
yang lebih tua darinya itu ke atap Rumah Sakit universitas Seoul. Sesampainya
di sana, selama beberapa saat mereka hanya menatap langit malam kota Seoul yang
dipenuhi dengan kelap-kelip lampu pemukiman di bawah sana.
“Mianhae,
Hyung [Maafkan aku, Kak]…” ucap Jihoon.
Laki-laki
itu pun mengalihkan pandangannya pada Jihoon. Kemudian Jihoon pun menyerahkan
sebuah amplop bermotif bunga mawar putih itu pada laki-laki itu. Tanpa sepatah
katapun, dia menerima amplop itu dari Jihoon. Jihoon hanya menatapnya dan
kemudian meninggalkannya sendirian di atap. Setelah Jihoon pergi, laki-laki itu
hanya menatap amplop itu dan perlahan mengeluarkan sepucuk surat yang berada di
dalamnya. Dia pun mulai membaca isi surat itu.
Dear Taekwoon…
Ildan [Pertama-tama], aku ingin mengucapkan
terima kasih karena kau telah menjadi orang yang sangat berharga dalam hidupku.
Sebenarnya aku sangat bahagia bisa dipertemukan dengan laki-laki sepertimu yang
perlahan mampu menyembuhkan traumaku dan membuatku ingin membuka hatiku lagi.
Kau tahu, gunung es dalam hatiku perlahan meleleh setiap kali kau menggenggam
tanganku, memberi perhatianmu padaku dan memperlakukanku dengan sangat baik
seolah aku sangat berharga bagimu.
Aku tahu, semua itu mungkin terlambat
untuk kuucapkan padamu. Jadi kutuliskan semuanya dalam surat ini karena aku
tahu aku tidak akan memiliki waktu untuk menyampaikan semua itu langsung
padamu. Maafkan aku, karena kita hanya bisa berbicara melalui tulisan saja
seperti ini.
Selanjutnya, maafkan aku karena harus
merahasiakan semuanya darimu. Ya, itu karena aku tidak ingin membuatmu terluka
dengan fakta bahwa kita tidak akan bisa bersama lagi. Atau bahkan mungkin, kita
sama sekali tidak akan bisa bersama karena sesuatu yang tak terpungkiri lah
yang akhirnya memisahkan kita. Maafkan aku.
Aku tidak tahu lagi apa yang harus
kukatakan padamu. Kau tahu, aku tidak suka berbasa-basi. Jadi sekali lagi, aku
hanya ingin mengucapkan terima kasih telah hadir dalam hidupku. Kau sangat
berharga bagiku, tapi maafkan aku karena tidak bisa menjagamu sampai akhir.
Kuharap setelah ini, kau bisa menemukan kebahagiaanmu. Jika kau bahagia, akupun
pasti akan bahagia meskipun kita berada di dunia yang berbeda. Jadi, terima
kasih banyak atas semuanya dan selamat tinggal.
Satu hal lagi, jika ada kehidupan
selanjutnya, aku akan dengan senang hati untuk bisa bertemu lagi denganmu.
Aku mencintaimu.
~ Lee Jihyeon ~
Setiap
kata dalam surat itu membuat air mata mengalir semakin deras. Taekwoon hanya
bisa memeluk surat terakhir yang ditinggalkan oleh Jihyeon untuknya. Selama
ini, dia tidak mengetahui bahwa Jihyeon menyembunyikan fakta menyakitkan itu
darinya. Fakta bahwa Jihyeon sakit dan telah mencapai akhir dari tingkat
keparahan penyakitnya ini membuatnya semakin terluka karena dengan bodohnya dia
tidak tahu sama sekali akan hal itu. Dengan bodohnya, dia hanya berpikiran
bahwa Jihyeon tidak mau menikah dengannya karena gunung es dalam hati Jihyeon
tak kunjung meleleh meskipun dengan segala cara telah dia lakukan. Namun tidak
disangka, fakta yang lebih menyakitkan ini harus dia terima di saat yang bahkan
dia sendiri tidak tahu setelah ini apakah dia masih bisa menggenggam gadis yang
begitu dia cintai ini atau tidak.
****
Cuaca
berawan hari ini meneduhkan langit kota Seoul. Bahkan langit seolah bersedih atas
perginya seorang gadis yang telah berjuang melawan trauma dan penyakitnya
selama ini. Di makamnya yang masih segar dan bertabur bunga mawar putih
kesukaannya itu, tampak hanya tersisa Haneul Ahjumma, Jihoon, Taekwoon
dan Dokter Cha yang masih enggan meninggalkan makam seorang gadis bernama Lee
Jihyeon itu.
“Eomeoni…”
ucap Dokter Cha dengan suara pelan dan sedikit serak.
Haneul
Ahjumma yang awalnya masih menatap batu nisan bertuliskan nama putrinya
itu mengalihkan pandangannya pada Dokter Cha.
“Joesonghamnida
[Maafkan aku]…” ucap Dokter Cha sambil membungkukkan tubuhnya.
Namun
Haneul Ahjumma segera meraih Dokter Cha dan menepuk punggungnya. Tanpa
berkata-kata, Haneul Ahjumma hanya menatap Dokter Cha. Kemudian Dokter
Cha pun mengeluarkan sebuah amplop dari saku jasnya.
“Sebelum
pergi, Jihyeon sempat menitipkan ini padaku. Ini untukmu,” ucap Dokter Cha.
Dokter
Cha pun menyerahkan amplop berwarna lavender itu pada Haneul Ahjumma.
“Geureom…”
ucap Dokter Cha.
Setelah
menunaikan tugas terakhirnya itu, Dokter Cha pun berpamitan dan meninggalkan
pemakaman dikarenakan dia harus segera kembali ke rumah sakit untuk Kembali
menjalankan tugasnya sebagai dokter.
Suasana
pemakaman hening. Haneul Ahjumma, Jihoon dan Taekwoon masih ada di sana.
Meskipun mereka belum sanggup untuk melepaskan kepergian Jihyeon, namun sudah
tiba waktunya bagi mereka untuk pulang. Mereka tahu, jika mereka masih ada di
sana, maka itu akan membuat Jihyeon semakin berat untuk meninggalkan mereka dan
mereka ingin Jihyeon pergi dengan kebahagiaan. Meskipun dengan langkah kaki
yang berat, perlahan mereka pun meninggalkan pemakaman.
****
Malam
yang sunyi. Angin musim gugur berhembus dingin dengan tanpa ampun hingga terasa
seolah menusuk-nusuk. Namun, meskipun angin yang cukup kencang dan malam pun
sunyi tanpa kehadiran bintang-bintang yang biasanya masih tampak berjajar dan
bersinar di atas sana, Haneul Ahjumma masih duduk terdiam di rooftop
rumahnya. Dia terduduk di sebuah bangku yang ada di sana sambil memegangi
sebuah surat terakhir dari putri kesayangannya, Jihyeon.
Perlahan,
Haneul Ahjumma pun membuka amplop itu dan membaca isi suratnya.
Eomma…
Bagaimana keadaanmu? Aku harap kau
baik-baik saja meskipun sekarang aku tidak bisa melihatmu lagi.
Ada banyak hal yang ingin kusampaikan
padamu melalui surat ini.
Eomma, mianhae. Sepertinya satu kata
maaf saja tidak akan mengampuni semua kesalahan yang kulakukan padamu. Dasar
memang putrimu ini tidak bisa berbakti padamu. Tapi apa boleh buat, aku hanya
bisa menceritakan semuanya melalui surat ini. Kenapa? Karena aku takut aku akan
membuatmu terluka lagi dan aku tidak mau melihatmu menangis lagi.
Pertama, ada satu hal yang mungkin
Eomma tidak tahu. Bahwa setiap kali aku melihatmu bermain Bersama anak-anak
kecil di taman bermain itu, jauh dalam benakku, aku terluka. Karena aku tahu,
kau pasti ingin melihat putrimu ini seperti yang lain. Menikah dan memberimu
cucu sehingga kau bisa lebih bahagia dalam menjalani hari-hari tuamu. Tapi
maafkan aku yang tak berguna ini, aku tidak bisa memenuhi keinginanmu itu
karena satu dan lain hal.
Maafkan aku karena aku harus
merahasiakan semuanya dan akhirnya harus memberitahumu hanya setelah aku pergi.
Berkali-kali Jihoon memintaku untuk menceritakan semuanya padamu, namun aku
selalu menolak dan melarangnya untuk memberitahumu. Bahkan di saat aku
merasakan sakit yang sangat hebat di kepalaku pun, aku selalu menyuruhnya untuk
berbohong dengan mengatakan bahwa aku hanya sakit kepala biasa. Tidak bisa
dihitung kebohongan yang kulakukan padamu ini, jadi aku akan menerimanya jika
kau menghukumku karena aku selalu membohongimu.
Eomma, meskipun sekarang aku tidak ada
lagi di sini, tapi aku selalu berharap bahwa kau akan menjalani hari-harimu
dengan biasa dan bahkan kau harus lebih bahagia. Karena aku akan selalu
melihatmu dari sini, aku akan selalu memperhatikan dan memastikan bagaimana
malaikat yang telah melahirkanku ke dunia ini berbahagia. Jadi kumohon, kau
harus bahagia.
Dan Eomma, terima kasih atas segalanya
yang kau berikan untukku. Betapa banyak yang sudah kau lakukan dan berikan
padaku sehingga tidak mungkin aku menuliskannya satu per satu, tapi kau pun
tahu itu. Jadi Eomma, terima kasih banyak atas segalanya. Semoga kita akan
dipertemukan kembali di kehidupan selanjutnya, dan aku akan meminta untuk menjadi
putrimu lagi. Di kehidupan selanjutnya, aku janji, sebagai putrimu, aku akan
membuatmu bahagia dan mengabulkan segala keinginanmu untuk menebus dosaku yang
tidak bisa memenuhi semuanya di kehidupan ini.
Eomma, saranghae [aku mencintaimu].
~ Putrimu yang nakal, Jihyeon ~
== TAMAT ==
== Epilog ==
Jika ada kehidupan selanjutnya, jika
aku bisa menebus semua yang tak dapat kupenuhi dalam kehidupan ini, maka itu
adalah aku ingin memberikan kebahagiaan dan menghapuskan semua luka yang telah
kau alami di kehidupan ini. Semoga kita akan dipertemukan lagi. Dan semoga tidak ada lagi luka dan rahasia yang harus
disembunyikan di kehidupan selanjutnya. Semoga kau bahagia. (2020/05/13)
-------
Halo, JHnimm is back setelah hiatus
selama bertahun-tahun.
Pertama, mohon maaf karena telah
menghilang selama bertahun-tahun dan ya kebiasaan buruk itu memang harus
dihilangkan. Semoga setelah ini tidak ada hiatus-hiatus lagi karena sebenarnya
draft FF ini udah sangat banyak, sebenarnya udah nyampe ratusan ngalahin lapisannya
wafer T itu. Karena tingkat kemalasan yang bahkan setan aja ngetawain ini gak
ada obat, jadi tertumpuk kayak cucian kotor. Tapi semoga setelah diterbitkannya
FF ini, bisa dicuci satu-satu itu ya cucian kotornya.
Semoga para pembaca suka dengan FF
comeback ini (bah, comeback palingan ngilang lagi, wkwkwk). Seperti biasa,
tolong maafkanlah kalo ada typo dikarenakan auto-correctnya ini bedebah sekali
*eh. Dan ya males ngedit ya mon map. Kalo ada yang mau volunteer jadi
editor, dengan senang hati kusambut dirimu dengan pelukan hangat dan kasih
sayang serta doa agar dirimu selalu bahagia.
Jangan lupa untuk meninggalkan suka
dan upvote serta komentar untuk mendukung kemajuan dan semangat si pemalas ini.
Please ini mah tinggalkan saran dan komentar yang membangun.
Pertanyaan: “Apakah vibe
tulisan si JHnimm yang baru ini masih sama dengan vibe tulisan JHnimm
yang lama?”
Ini wajib banget dijawab, plis. Biar
aku gak kehilangan jati diri gitu.
Terima kasih! I love you ceban ya para
pembacaku sayang.
Salam hangat,
JHnimm
Comments
Post a Comment